Hanya Pulang Nama (untuk Uripyanti)
Oleh Yulia Cahyaningrum
Aku datang sebagai orang baru, di tempat yang baru, suasana yang baru, umur pun baru. Taka ada yang tahu, meskipun mereka ingin tahu, tapi tak akan pernah kuberitahukan. Inilah hidupku, inilah perjalanan singkatku.
Kulalui semua sendiri, aku diam walaupun perih menusuk tulang. Mereka tak pernah memedulikanku, tak pernah bertanya, sudah makankah kamu? Cukupkah tidurmu? Padahal di sini aku kelaparan, aku kurang tidur, badan pun kurus kering tinggal tulang.
Pekerjaan setia menungguku setiap menit. Tanpa peduli betapa lelahnya diriku. Ah! Aku tak kuat lagi. Tubuhku terjatuh di jalan, tak ada yang peduli, tak ada yang menolongku. Sampai akhirnya aku bangun lagi sendiri. Di manakah hati nurani? Telah hilangkah rasa kemanusiaan?
Lihatlah aku di sini sekarang. Di sebuah ruangan yang serba putih, dengan orang-orang yang berpakaian serba putih pula, juga dengan lampu putih yang menyilaukan mataku. Pikiranku melayang jauh, ingat anakku, ingat suamiku, ingat orangtuaku.
Aku rindu saat-saat bahagia bersama mereka. Aku ingin berada bersama mereka. Tapi ragaku tak kuat lagi, berbicara pun aku tak mampu, hanya kedipan mata sebagai isyarat iya dan tidak.
Sesak ulu hatiku, sesak dadaku, pandanganku semakin kabur hingga tertutup penglihatanku. Yang ada hanya bayangan almarhum kakek dan nenekku yang menungguku di ambang pintu dengan melambai-lambaikan tangannya. ”Aku tak mau ikut dengan kalian!” teriakku. Tapi aku tergelincir dan masuk bersama mereka.
Teramat sangat sakit ketika aku melihat sebuah jasad yang mirip denganku dimandikan, dikafani, dan dishalati. Aku berusaha untuk kembali keragaku, tapi tak bisa. ”Tidakkah kalian melihatku, mendengar teriakanku? Aku disini, di samping kalian.”
Kini jasadku telah dipindah disebuah kapal terbang. Menuju kampung halamanku, dan banyak orang telah menantiku di sana. Mereka menangisiku. Anakku tanpa henti memanggilku, ”Mama… Mama… Mama….!”
”Kemana kalian akan membawa jasadku?” Tapi tak seorang pun menjawab pertanyaanku. Hanya lantunan Laailaahailallaah… Laailaahailallaah… Laailaahailallaah.
Mereka semua pergi meninggalkan aku sendiri dibawah gundukan tanah yang basah. Berteman cacing, dan kegelapan. Hanya batu nisan yang akan menjadi bukti bahwa aku pulang dengan nama, dengan bendera setengah tiang di samping peristirahatan terakhirku. (Yulia Cahyaningrum, Reporter DDHK News/ddhongkong.org).*
Oleh Yulia Cahyaningrum
Aku datang sebagai orang baru, di tempat yang baru, suasana yang baru, umur pun baru. Taka ada yang tahu, meskipun mereka ingin tahu, tapi tak akan pernah kuberitahukan. Inilah hidupku, inilah perjalanan singkatku.
Kulalui semua sendiri, aku diam walaupun perih menusuk tulang. Mereka tak pernah memedulikanku, tak pernah bertanya, sudah makankah kamu? Cukupkah tidurmu? Padahal di sini aku kelaparan, aku kurang tidur, badan pun kurus kering tinggal tulang.
Pekerjaan setia menungguku setiap menit. Tanpa peduli betapa lelahnya diriku. Ah! Aku tak kuat lagi. Tubuhku terjatuh di jalan, tak ada yang peduli, tak ada yang menolongku. Sampai akhirnya aku bangun lagi sendiri. Di manakah hati nurani? Telah hilangkah rasa kemanusiaan?
Lihatlah aku di sini sekarang. Di sebuah ruangan yang serba putih, dengan orang-orang yang berpakaian serba putih pula, juga dengan lampu putih yang menyilaukan mataku. Pikiranku melayang jauh, ingat anakku, ingat suamiku, ingat orangtuaku.
Aku rindu saat-saat bahagia bersama mereka. Aku ingin berada bersama mereka. Tapi ragaku tak kuat lagi, berbicara pun aku tak mampu, hanya kedipan mata sebagai isyarat iya dan tidak.
Sesak ulu hatiku, sesak dadaku, pandanganku semakin kabur hingga tertutup penglihatanku. Yang ada hanya bayangan almarhum kakek dan nenekku yang menungguku di ambang pintu dengan melambai-lambaikan tangannya. ”Aku tak mau ikut dengan kalian!” teriakku. Tapi aku tergelincir dan masuk bersama mereka.
Teramat sangat sakit ketika aku melihat sebuah jasad yang mirip denganku dimandikan, dikafani, dan dishalati. Aku berusaha untuk kembali keragaku, tapi tak bisa. ”Tidakkah kalian melihatku, mendengar teriakanku? Aku disini, di samping kalian.”
Kini jasadku telah dipindah disebuah kapal terbang. Menuju kampung halamanku, dan banyak orang telah menantiku di sana. Mereka menangisiku. Anakku tanpa henti memanggilku, ”Mama… Mama… Mama….!”
”Kemana kalian akan membawa jasadku?” Tapi tak seorang pun menjawab pertanyaanku. Hanya lantunan Laailaahailallaah… Laailaahailallaah… Laailaahailallaah.
Mereka semua pergi meninggalkan aku sendiri dibawah gundukan tanah yang basah. Berteman cacing, dan kegelapan. Hanya batu nisan yang akan menjadi bukti bahwa aku pulang dengan nama, dengan bendera setengah tiang di samping peristirahatan terakhirku. (Yulia Cahyaningrum, Reporter DDHK News/ddhongkong.org).*
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori coretanku
dengan judul Hanya Pulang Nama (untuk Uripyanti). Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://yuliacahya2012.blogspot.com/2012/08/hanya-pulang-nama-untuk-uripyanti.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
Unknown -
Belum ada komentar untuk "Hanya Pulang Nama (untuk Uripyanti)"
Post a Comment