Yulia Cahya Blog

NICE TO BE IMPORTANT, BUT MORE IMPORTANT TO BE NICE

Bebdera Setengah Tiang

Udara pagi terasa semakin dingin menusuk tulangku. Nyaliku menciut untuk merambat ke luar dari persembunyianku. Di bawah selimut hangat hasil kiriman ibu dari Arab Saudi. Itulah satu-satunya barangku yang paling berharga. Namun, hangatnya selimut itu, seribu kali lebih hangat dari belaian ibu.

Aku melihat ibu membuka pintu kamarku. Menghampiriku dan memeluk tubuhku yang masih terbaring di amben yang terbuat dari bambu. Belum puas aku menikmati kehangatannya, ibu tersentak, teriak meminta tolong. Ibu tersedot oleh sesuatu yang sangat kuat di luar sana.

Bayangannya memudar, kemudian menghilang tanpa bekas. " Asih, tolong ibu, nduk. " Suara itu terngiang di telingaku. "Ibu... ibu... ibuuuu !"

" Nduk, kowe kuwi nglindur opo? Nyebut asmane Gusti Allah, nduk. Sadar. " Suara itu membangunkanku dari mimpi. Bapak telah duduk di sampingku sambil mengusap butiran keringatku yang menetes.

" Pak, aku ngimpi ibuk lagi. Aku kangen karo ibuk. " Kupeluk tubuh bapakku yang ringkih tinggal tulang. Aku menangis sejadinya, hingga aku merasa puas.

" Sing sabar ya, nduk. Ibukmu mesti ndang muleh, iso ngumpul maneh karo awake kabeh. " Ucapan bapak ini sedikit menenangkan perasaanku.

Sepuluh bulan yang lalu, ibu pergi ke Arab Saudi melalui PJTKI di Jakarta. Ibu sangat senang karena majikannya sangat baik. Semua kebutuhan ibu dicukupi, bahkan uang gaji pun dikasih lebih.
Dari bulan pertama ibu selalu mengirimkan gajinya untuk kami. Untuk kebutuhan sehari-hari dan juga untuk berobat bapak yang terkena penyakit paru-paru.

 Namun, kebahagiaan itu sangatlah singkat.
Ibu sering menelepon Bulek, karena hanya buleklah yang mempunyai telepon genggam. Ibu selalu mengeluhkan kalau majikan perempuannya berubah menjadi orang yang penuh ambisi dan main tangan. Itu disebabkan karena majikan perempuan cemburu kepada ibu.

Ibu dituduh telah menggoda suaminya.
Aku hanya bisa menangis dan berdoa agar ibu bisa segera ke luar dari rumah majikannya yang jahat itu. PJTKI dan agen pun juga berjanji akan membantu ibu, tapi nyatanya tidak ada tindakan apa-apa. Mereka hanya menyuruh ibu untuk bersabar.


Telepon terakhir dari ibu, ibu hanya menitipkan pesan untuk aku dan bapak. " Menowo enek opo-opo nek awakku, diikhlasne wae. "


Kabar selanjutnya, ibu telah membunuh majikannya dengan pisau.
Bapak mendapatkan surat resmi dari Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) satu kali. Surat itu menerangkan bahwa ibu sedang menjalani persidangan dengan ancaman hukuman qisas. Ibu terancam hukuman mati.

" Nduk, bapak arep lungo nek Jakarta, golek informasi tentang ibukmu soko pemerintah. Kowe nek omah karo Bulek ya, nduk. "

" Enggeh pak, ngatos-ngatos. Beto ibuk mantok ya, pak. "

Bapak pergi untuk menagih janji pemerintah yang berjanji akan meloloskan ibuku dari hukuman mati. Tapi, tiga hari di sana, bapak tidak menghasilkan apa-apa. Bapak malah hanya disuruh untuk mendatangi satu kantor dan kantor lainnya. Bagai bola pingpong yang dioper kesana kemari demi mencari kemenangan.

Dalam rangka memperingati hari kemerdekaan, 17 Agustus, aku diajak temanku untuk mengikuti upacara bendera di lapangan desa yang letaknya tidak terlalu jauh dari gubug tempat tinggal keluargaku.
Aku bangga pada Indonesia, aku cinta pada tanah kelahiranku.

Tapi tidak dengan pemerintahannya. Juga pejabat-pejabatnya. Aku kecewa pada mereka yang menyalah gunakan kewenangannya. Tidak menghormati bangsa dan penduduknya. Melupakan jasa pahlawan negara, juga pahlawan devisa.


Bukankah pahlawan devisalah yang mengayakan mereka? Tapi mereka lupa karena telah duduk dan tidur di tempat yang nyaman. Pernahkan mereka berupaya untuk melindungi pahlawan yang satu ini?
Yang kaya bertambah makmur dan berkuasa. Yang miskin semakin terkucil dan terhina. Itulah Indonesiaku sekarang. Dimanakah keadilan, perlindungan, pengayoman dari pemimpin negara ini?


" Kepada sang merah putih, hormaaaaattt graaak ! "
Aba-aba yang lantang dari pemimpin upacara memecahkan lamunanku. Serentak kami menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Hatiku bagai tertusuk bambu runcing para pahlawan.


Terikrar dalam hatiku, " Jika ibu dibebaskan dari hukuman mati pada hari ini, akan kuabdikan seumur hidupku untuk pejabat itu. "

Tiba-tiba aku dikagetkan oleh sebuah tepukan yang mendarat di bahuku. " Bulek, wonten nopo? Kulo takseh upacara bendera."
Bulek memelukku dengan erat. Tak peduli lagi akan kumandangnya lagu ciptaan WR. Supratman itu.

" Sih, tabahno atimu ya, nduk. Ibukmu wes di eksekusi mati."

Bagai tersambar petir tubuhku. Semua tampak gelap gulita. Hanya tampak tiang dengan bendera yang terhenti di tengah-tengah. Kemudian semua berubah menjadi lautan api yang membakar seluruh raga dan batinku. Nyawa ibuku berakhir di golok tajam algojo.
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori cerpenku dengan judul Bebdera Setengah Tiang. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://yuliacahya2012.blogspot.com/2012/11/bebdera-setengah-tiang.html. Terima kasih!
Ditulis oleh: Unknown -

Belum ada komentar untuk "Bebdera Setengah Tiang"

Post a Comment