Yulia Cahya Blog

NICE TO BE IMPORTANT, BUT MORE IMPORTANT TO BE NICE

Janji Suamiku Tertanam di Bawah Batu Nisan

Janji Suamiku Tertanam di Bawah Batu Nisan
Dia pemuda yang gagah dan berwibawa. Senyumannya, tatapan matanya, membuatku jatuh hati, sampai-sampai, ketika dia melamarku, aku langsung menerimanya tanpa pertimbangan apa pun.
“Dek, aku ingin kamu menjadi istriku, menemani masa-masa hidup sampai matiku nanti,” pintanya dengan tulus. Karena suatu alasan, pernikahan kami hanya berlangsung sederhana di Kantor Urusan Agama (KUA) di desaku. Aku tetap merasa sangat bahagia meski tanpa mahkota di kepalaku.
Sebulan setelah menikah, aku mengandung benih cintanya. Dia sangat bahagia mendengar kabar ini. Dia semakin sayang dan memanjakanku. Tapi, kebahagian itu berubah menjadi sebuah kesedihan yang berlarut ketika dia di-PHK. Dia menjadi “emosian” dan tak bisa mengontrol dirinya sendiri, hingga mata hatinya telah buta.
Setiap kali pulang, aku selalu mencium bau minuman beralkohol dari mulutnya. Dia juga tak segan-segan untuk memukulku.
Aku bertahan dengan doa yang selalu aku panjatkan. Setelah putri pertamaku lahir, aku bertekad untuk bekerja menjadi TKW. Hal ini terinspirasi dari beberapa tetangga yang sukses setelah merantau ke luar negeri. Awalnya, dia tidak mengizinkanku, namun setelah aku menjelaskan bahwa kepergianku untuk masa depan putri semata wayang kami, dia menyetujuinya.
“Dek, hati-hati ya. Mas akan menunggumu pulang. Hidup dan matiku hanya untukmu, Dek,” katanya melepas kepergianku. Setetes butiran bening jatuh dari sudut matanya. Aku pura-pura tidak tahu dan berlalu meninggalkannya.
Aku mendapat majikan orang China yang “super cerewet” dan suka memotong gajiku jika aku melakukan kesalahan. Semua yang aku lakukan selalu salah di matanya. Tapi aku tetap bertahan. Dia juga membatasiku untuk berkomunikasi dengan keluargaku di kampung. Hanya beberapa bulan sekali dia mengizinkanku untuk menelepon.
Hatiku senang tiada terkira. Meskipun juga terselip kesedihan dan kekecewaan tatkala tidak mendapati suara suamiku yang begitu aku rindukan. “Suamimu sedang tidak ada di rumah, Nduk,” begitu penjelasan ibu tiap kali aku bertanya tentang suamiku.
Sebelas bulan aku tinggal di “rumah neraka”, kemudian aku diinterminit dan berganti majikan India. Nasib baik belum berpihak kepadaku, setengah bulan bekerja, majikan perempuan menamparku dan aku langsung kabur ke agen. Mereka menyuruhku ganti majikan lagi, dan alhamdulillah, aku mendapat majikan yang baik hati.
Meskipun majikan sangat baik, tapi aku tinggal serumah dengan kung-kung yang mempunyai sifat genit dan selalu berusaha untuk memperkosaku. Aku tidak tahan lagi atas kelakuan kung-kung. Aku meminta izin pada majikan untuk pulang ke Indonesia. Mereka mengabulkan permintaanku.
Satu setengah tahun merantau di luar negeri. Dengan sisa gaji empat bulan, aku meminta ibuku untuk mempersiapkan pesta pernikahanku yang dulu belum sempat dilaksanakan.
Dengan dikawal oleh petugas agen, aku diantar sampai bandara, sampai aku naik pesawat.
Berbinar mataku ketika kutapakkan kaki di halaman rumah, tempat pertama kali aku hadir di dunia. Senyum terkembang mengiringi cepatnya langkah kakiku meraih gagang pintu yang dalam keadaan tertutup. Ibuku tercengang menyambut kedatanganku yang lebih cepat dari perkiraannya. Sengaja aku ingin memberikan kejutan kepadanya, juga kepada semua anggota keluargaku.
Puas rasa hatiku melihat semuanya dalam keadaan sehat, dan putriku telah tumbuh menjadi balita yang superaktif. “Bu, suamiku di mana?” tanyaku tak sabar. Ibu, dan semua orang hanya terdiam menatapku dengan tatapan yang sangat tajam. Matanya tiba-tiba lembab oleh air mata.
“Nduk, sabarkan hatimu ya, Nduk! Suamimu sudah tidak ada…” ibu tidak melanjutkan perkataannya.
“Tidak ada bagaimana sih, bu? Apa maksudnya?” Kataku mendesak ibu agar melanjutkan perkataannya.
“Suamimu telah dipanggil Yang Mahakuasa, Nduk…”
Ucapan ibu seperti petir yang menyambar tubuhku. Aku pun menangis meraung-raung, sebelum akhirnya lemas terkulai.
Ternyata suamiku meninggal dalam kecelakaan. Dia selalu menyebut namaku dan selalu berkata maaf karena telah mengkhianatiku. Dokter pun sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk menolongnya. Karena minuman beralkohol yang diteguknya sebelum kecelakaan, menolak semua cairan obat-obatan yang disuntikkan ke tubuhnya.
Janjinya dibawa mati, tertanam di bawah batu nisan.
“Aku masih mencintaimu sampai hari ini, dan aku telah memaafkanmu. Aku juga minta maaf, karena selama kepergianku, lahir dan batinmu telantarkan. Semoga Allah menerimamu, di sisi-Nya. Aku akan menjaga buah hati kita, mendidiknya menjadi anak yang berbakti. Tersenyumlah, sayang.”
Air mata tak henti bergulir dalam sujudku malam ini.
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori cerpenku dengan judul Janji Suamiku Tertanam di Bawah Batu Nisan. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://yuliacahya2012.blogspot.com/2012/11/janji-suamiku-tertanam-di-bawah-batu.html. Terima kasih!
Ditulis oleh: Unknown -

Belum ada komentar untuk "Janji Suamiku Tertanam di Bawah Batu Nisan"

Post a Comment